semiotika dalam film "dua garis biru"

    Film Dua Garis Biru merupakan salah satu film yang memiliki tema kehidupan remaja. Remaja adalah individu yang berusia 11-24 tahun dan berstatus belum menikah (Sarwono, 2011). Remaja adalah masa transisi ke masa dewasa, dimana terdapat gejolak secara emosi dan perilaku. Dalam film Dua Garis Biru diceritakan bagaimana dampak pergaulan remaja yang melewati batas norma agama dan norma sosial. Film tersebut tidak semata-mata menampilkan adegan pacaran di usia remaja, namun memiliki tujuan utama yaitu memberikan pemahaman kepada berbagai pihak seperti orang tua, lingkungan pendidikan, dan negara tentang pentingnya pendidikan seks kepada remaja. 56 | JPT : Vol. 2, No. 1, April 2021 Pendidikan seks selama ini dianggap hal yang tabu di Indonesia, bahkan kehadiran film ini mendapat boikot dari beberapa pihak karena dianggap membahayakan bagi remaja. Kurangnya pengetahuan masyarakat dan keseriusan negara dalam mengontrol pergaulan remaja mengakibatkan dampak yang nyata bagi masa depan. Film ini merupakan salah satu karya sastra yang mengkritik budaya masyarakat Indonesia yang menganggap tabu masalah pendidikan seks.

    Film Dua Garis Biru menampilkan berbagai adegan yang mengandung makna tersirat, tidak hanya makna yang dipahami melalui indra penglihatan. Namun, pemaknaan hadir melalui tanda yang ditampilkan. Memahami makna melalui tanda disebut dengan istilah semiotika. Semiotika struktural pertama kali dimunculkan oleh Ferdinand de Sausure yang mempelajari makna melalui penanda (signfiant) dan (signifie). Roland barthes kemudian mengembangkan teori ini dan menggunakan istilah denotasi, konotasi, dan mitos. Denotasi adalah makna awal dari sebuah tanda, teks, dan sebagainya. Makna ini tidak bida dipastikan dengan tepat, karena makna denotasi merupakan generalisasi. 

    Denotasi merupakan tahap pertama signifikansi yaiutu hubungan antara signifiant dan signifie. Jadi, denotasi adalah makna paling nyata dari tanda. sedangkan konotasi merupakan signifikansi tahap kedua. Konotasi mempunyai makna yang subjektif, atau dengan kata kain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut mitos. Mitos adalah pembenaran bagi nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu. Ketiga istilah yang diungkapkan Roland Barthes merupakan teori yang digunakan untuk menganalisis film Dua Garis Biru. 

    Sebagai film dengan tema yang dianggap tabu di masyarakat Indonesia, film ini dikemas agar dapat ditonton oleh segala usia dengan menampilkan adegan yang syarat akan makna. Makna tersebut dapat dipahami dengan teori semiotika Roland Barthes. Berdasarkan hasil penelitian dari seluruh durasi satu jam lima puluh dua menit film Dua Garis Biru ditayangkan, terdapat sepuluh adegan yang menarik untuk dianalisis dengan teori semiotika Roland Barthes. Sepuluh adegan tersebut terjadi di beberapa setting yang berbeda yaitu rumah Dara, Kamar tidur Dara, ruang tamu rumah Dara, halaman depan rumah Bima, kamar Bima, ruang makan rumah Bima, kelas, dan ruang UKS Sekolah.




    Analisis semiotika Roland Barthes dalam film Dua Garis Biru karya sutradara Gina S. Noer terdiri dari denotasi, konotasi, dan mitos. Denotasi dalam film Dua Garis Biru tergambarkan jelas melalui adegan awal sampai akhir film tersebut. Adapun makna denotasi dalam film Dua Garis Biru adalah hubungan antara lawan jenis yang melewati batas mengakibatkan resiko yang besar dalam menentukan masa depan terlebih remaja Sekolah Menengah Atas (SMA).

    Dara dan Bima adalah contoh remaja SMA yang memiliki hubungan dekat karena saling suka dan menyayangi akhirnya hubungan tersebut melewati batas yang menyebabkan Dara hamil di luar nikah. Perbuatan Dara dan Bima menimbulkan masalah di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Namun, makna dalam film tidak hanya sebatas makna denotasi, dalam film ini terdapat makna konotasi. Makna konotasi dalam Dua Garis Biru adalah film ini sebagai cermin dan kritik sosial bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia. Adegan film Dua Garis Biru menampilkan makna konotasi bahwa hamil di luar nikah merupakan portret dan masalah yang sudah sering terjadi di Indonesia. Dara menjadi representasi remaja perempuan yang paling berdampak negatif dan menanggung resiko meskipun hamil di luar nikah adalah perbuatan dua orang lawan jenis. 

    Dara harus dikeluarkan dari sekolah, di usir dari rumah orang tua nya, dan di jauhi teman-temannya. Sedangkan Bima karena dia seorang laki-laki, ia tetap bersekolah, masih ada teman yang membantunya, keluarga tetap mendukungnya, dan ia pun mendapatkan pekerjaan meskipun ejekan juga menghampirinya di sekolah. Konotasi ini pun telah menjadi mitos di negara ini. Mitos lainnya yang tampak adalah bagaimana semua orang yang ada di Indonesia masih menganggap bahwa kecerdasan seseorang hanya di lihat dari nilai yang didapatkan semasa sekolah bukan pada minat, bakat, dan karakter dalam menentukan kehidupan di masa depan. 

    Guru sebagai pendidik mengukur remaja dengan nilai tinggi akan mendapatkan masa depan yang cerah sedangkan remaja dengan nilai rendah dianggap tidak memiliki masa depan. Mitos ini telah berkembang di masyarakat Indonesia. Sekolah pun dibedakan antara sekolah negeri dan swasta. Sekolah negeri dianggap sekolah yang memiliki kualitas lebih baik dari pada sekolah swasta karena sarana dan prasarananya. Padahal jika melihat secara keseluruhan, hal yang dapat menentukan pendidikan dapat juga dilihat dari kinerja guru, visi misi sekolah, karakter pendidikan yang dikembangkan disekolah, dan lain-lain. 

Komentar